Mengenali Potensi Musik Indonesia di Pasar Dunia | Komunitas Indie Lampung (KO.I.LA.)
LAMPUNG MUSIC COMMUNITY

Sabtu, 26 November 2011

Mengenali Potensi Musik Indonesia di Pasar Dunia

Share this on :

Dari perbincangan dengan beberapa tokoh musik Indonesia yang pernah berpentas di luar negeri, inti permasalahannya selalu sama. Mereka masih kesulitan mendapatkan dana agar bisa mendapat kesempatan manggung di luar neger.

Sebagian dari mereka malah mengatakan undangan yang mereka terima seringkali tidak dapat dipenuhi karena tidak ada sponsor. Padahal mereka bukanlah pemusik sembarangan. Di tangan mereka terletak peluang untuk menerobos pasar musik internasional. Merekalah ujung tombak promosi pasar musik Indonesia.

Tanpa adanya reputasi yang meyakinkan, dunia internasional tidak akan memberikan kesempatan kepada mereka untuk dapat pentas. Penting untuk menelusuri seberapa besar potensi pasar musik Indonesia di dunia internasional yang dapat direbut oleh produk world music/beat nasional. Produk ini diwakili oleh kelompok seperti Krakatau, Simak Dialog, Samba Sunda, Gangsadewa, Debu, Jes Gamelan Fusion, Bona Alit, Discus, Svara Semesta, Tropical Transit, Altajaru, Balawan, Toba Ansambel, Sonoseni, DKSB, Ozenk Percussion, Indonesian National Orchestra (INO) dan lainnya.

Para musisi itu tekun menggarap elemen musik lokal secara kreatif sebagai materi ekspresi mereka. Ini penting ditelusuri bagi pengembangan sektor industri kreatif nasional yang bertumpu pada produk musik.

Beberapa dekade yang lalu, pasar musik internasional mulai tertarik oleh produk yang dikenal sebagai world music. Pada awalnya, world music dimengerti sebagai musik-musik asli dari negara-negara non-Barat, atau yang di Indonesia dikenal sebagai musik tradisional.

Produk world music pertama yang meledak di pasar dunia adalah musik Amerika Latin. Musik Latin ketika itu merangsang imajinasi para musisi jazz di Amerika Serikat, sehingga sejak awal sudah menguasai pangsa pasar world music di panggung internasional.

Keuntungan dari musisi-musisi Latin adalah letak geografis mereka yang berdekatan dengan pusat pasar musik dunia, yaitu Amerika Serikat. Selain itu, sejak awal musik Latin ini sudah merupakan paduan antara musik lokal negara-negara Amerika Latin dan musik Barat. Ini memudahkan para pemusik Amerika Serikat atau Eropa untuk menggarap mereka dalam konteks bahasa ekspresi musik tonal.

Pada dekade 80an, terjadi ledakan pasar world music yang kedua. Kali ini yang mendapat keberuntungan adalah musik-musik tradisional Afrika. Jika musik-musik Latin tiba-tiba menarik perhatian dunia karena dimanfaatkan oleh tokoh musik jazz, musik-musik Afrika dimanfaatkan oleh tokoh musik pop seperti Paul Simon. Pada saat yang bersamaan tokoh musik rock seperti Peter Gabriel mulai melihat potensi pasar world music di panggung internasional. Gabriel menggelar sebuah festival world music berskala besar yakni WOMAD (World of Music Arts and Dance).

Pada momentum itu musik-musik folk Eropa juga turut menerobos pasar, terutama yang berasal dari Irlandia (Celtic). Musik tradisional Asia yang berhasil ikut dalam gejolak pasar world music umumnya dari India karena mereka memiliki ‘pahlawan pasar’ seperti Ravi Shankar dan Zakir Husein. Sejak tahun 60an India memang sempat beruntung karena The Beatles memopulerkan musik mereka.

Untuk Indonesia, gamelan yang sering jadi unggulan di pasar dunia. Tidak banyak jenis world music di dunia yang berbentuk orkestra seperti gamelan. Karena itu, gamelan menjadi populer di lingkungan universitas yang memiliki program etnomusikologi.

Etnomusikologi adalah sebuah disiplin ilmu baru di bidang musik yang mempelajari musik-musik etnis dari seluruh dunia. Istilah world music menjadi populer justru karena digunakan secara luas di bidang etnomusikologi. Para sarjana di bidang ini bertanggung jawab dalam menyebarluaskan pengetahuan umum tentang world music melalui publikasi mereka. Banyak etnomusikolog juga bekerja di perusahaan-perusahaan rekaman dan retail musik kecil maupun besar seperti Sony Music atau Virgin Record.

Berbarengan dengan perkembangan pasar world music dan bidang etnomusikologi, dunia musik kontemporer di Amerika juga semakin tertarik pada musik-musik non-Barat. Para komponis Amerika, terutama yang berasal dari Pantai Barat, pada tahun 60an sudah tidak lagi berkiblat ke Eropa, melainkan ke Asia dan Afrika. Akibatnya, lahirlah sebuah gerakan musik baru yang kemudian dikenal dengan nama minimalisme. Pelopornya seperti Terry Riley yang belajar gamelan dan musik-musik Timur Tengah, La Monte Young dan Philip Glass yang belajar musik India, dan Steve Reich yang belajar gamelan dan musik Afrika. Keempat orang ini yang bertanggung-jawab atas popularitas genre musik kontemporer yang sebelumnya memiliki pasar sangat terbatas.

Akibat dari akumulasi perkembangan popularitas world music tadi, pada tahun 90an pangsa pasar jenis musik ini sudah melebihi pasar musik jazz dan klasik yang telah terbentuk beberapa puluh tahun lebih awal. Pada tahun 80an, dari sesuatu yang tidak tercatat, pasar world music berhasil mencapai 3 persen dari pangsa pasar seluruh jenis musik di dunia. 10 tahun kemudian pangsa pasar jenis musik ini bergerak mencapai 10 persen.

Jika secara kasar, nilai pasar seluruh jenis musik yang ada berkisar sebesar 80 milyar dolar AS, maka pangsa pasar world music sudah mencapai 8 milyar dolar AS. Namun produk yang mendominasi pasar world music masih berasal dari Amerika Latin, Afrika dan Eropa. Produk world music Asia tertinggal sangat jauh.

Negara yang memiliki kekayaan world music terbesar di dunia, tidak lain adalah Indonesia. Jika dihitung ragamnya, kekayaan musik asli Indonesia dari Sabang hingga Merauke mungkin tidak kalah dengan benua Afrika, apalagi Amerika Latin dan Eropa. Dalam konteks inilah pembukaan tulisan ini terbaca sangat ironis. Di tengah-tengah munculnya kesadaran akan peluang tiap negara di dunia untuk mengembangkan industri kreatif, para pahlawan pasar musik kita justru tidak mendapat tempat di mata masyarakat dan pemerintah.

Indonesian Music Expo (IMEX) akan dilaksanakan 7-14 November di Nusa Dua, Bali. IMEX bertujuan untuk memberikan kesempatan yang luas kepada para pahlawan pasar musik kita bertarung secara adil merebut hati para ‘pembeli’. Bali adalah tempat yang sangat ideal untuk menguji pasar world music Indonesia karena wilayah ini paling internasional di seluruh negeri.

Ubud, misalnya, sudah menjadi pusat kesenian internasional dalam skala yang kecil.

Wilayah Ubud mungkin kecamatan yang paling pesat berkembang dan paling internasional di seluruh Indonesia. Saat ini, kecamatan sekecil Ubud sudah memiliki tiga festival seni internasional yang bergengsi yaitu Ubud Writers and Readers Festival, Bali Spirit Festival dan Bali Inter-Music Festival. Oleh sebab itu, usai di Nusa Dua, IMEX akan bergeser ke Ubud pada tanggal 15-16, khususnya untuk acara workshop dan seminar dengan topik “Mengenali Potensi Pasar Musik Indonesia”.

Para pembicara dalam seminar ini adalah para pahlawan pasar yang saya jejerkan tadi. Mereka diharapkan dapat menyumbangkan pengalaman mereka bergulat di panggung internasional kepada seluruh peserta IMEX, terutama yang belum memiliki kesempatan untuk tampil di luar Indonesia.

Acara workshop IMEX akan diisi oleh seorang ahli musik digital dari Australia, Profesor Greg Schiemer. Selama empat hari dari tanggal 10-14 beliau akan mengajarkan bagaimana menciptakan (bukan hanya menggunakan) teknologi yang dapat digunakan untuk membuat musik secara kreatif.

Profesor Schiemer adalah salah seorang ahli musik digital dari Universitas Wollongong yang banyak mendesain piranti elektronik baru untuk penciptaan musik. Perangkat elektronik ini nantinya akan bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan alat-alat musik tradisional Indonesia.

Karya-karya musik digital Prof. Schiemer banyak memanfaatkan konsep musik gamelan. Salah satunya yang luar biasa adalah “Pocket Gamelan” yang dirancang untuk 30 telepon seluler yang diprogram dengan frekuensi ketinggian nada-nada gamelan.

Workshop ini juga akan menjadi ajang kolaborasi antara Prof. Greg Schiemer dengan para empu musik tradisional yang datang dari pelbagai penjuru Nusantara ke IMEX di Pantai Peninsula, Nusa Dua.

Oleh: Franki Raden, Ph.D.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Enterprise Project Management